Identifikasi CAMBRA

1.      DMF-T   
DMF-T adalah metode yang digunakan untuk menilai karies dimana data didapatkan dengan menghitung jumlah Decay (D), Missing (M), dan Filled (F) pada gigi/Teeth (T) yang disebabkan oleh karies (Shabani dkk, 2015)
Menurut Hiremath (2007), penilaian DMF dilakukan berdasarkan komponen DMF yaitu:
·      D (Decay), berdasarkan gigi berlubang karena karies
Kriteria penilaian: Gigi yang mengalami diskolorisasi, lapisan email yang tipis atau mengalami diskontinuitas, adanya lubang, bagian dasar gigi yang lunak
·      M (Missing), berdasarkan gigi yang hilang hanya karena karies
·      F (Filled), gigi yang direstorasi akibat karies (hanya untuk tumpatan permanen)
Dari praktikum yang dilakukan, ditemukan keadaan gigi berlubang karena karies pada gigi 37 sehingga didapatkan skor DMF-T probandus adalah 1. Dimana komponen D=1, komponen M=0, dan komponen F=0.
2.      CAMBRA
Indikator Penyakit: mendeskripsikan tanda-tanda fisik karena adanya karies, baik karies yang baru atau karies yang pernah dialami. Indikator ini tidak mendeskripsikan penyebab karies atau bagaimana cara melakukan perawatan terhadapnya, namun hanya sebagai prediksi. Adapun hal-hal sebagai penilaian dari indikator penyakit yaitu: Adanya white spot pada permukaan gigi, adanya restorasi pada tiga tahun terakhir, adanya lesi pada email yang tampak pada radiograf, adanya cavitas pada dentin yang tampak pada radiograf.
Faktor Resiko: mendeskripsikan aspek-aspek biologis sebagai penyebab karies. Terdapat tiga hal penyebab karies yang masuk dalam faktor resiko yaitu Bakteri acidogenic, aciduric, dan cariogenic, hiposalivasi dan disfungsi kelenjar saliva, pola hidup yang meningkatkan resiko karies misalnya konsumsi gula yang berlebih
Faktor Protektif: adalah faktor-faktor biologi dan terapeutik untuk mencegah faktor resiko sehingga karies dapat ditanggulangi. Faktor protektif meliputi produk-produk yang dapat meningkatkan remineralisasi dan menjaga keseimbangan faktor-faktor patologi dan proteksi kesehatan mulut pasien. Hal-hal yang termasuk faktor protektif adalah saliva dan sealent, antimikroba atau antibakteri (xylitol), penggunaan fluoride, dan pola lifestyle. Di Indonesia sendiri, pencegahan karies dengan penggunaan produk-produk berfluoride sudah diberlakukan dalam peraturan pemerintah. Menurut kemenkes, masyarakat dianjurkan menggunakan pasta gigi dengan kandungan fluoride sebanyak 1000-1500 ppmF.
(Young dkk, 2007 dan Kemenkes, 2012)
Hiposalivasi atau penurunan sekresi saliva erat kaitannya dengan faktor penyebab terjadinya karies. Hiposalivasi sendiri disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor medikasi, radiasi, dan sistemik
a.     Medikasi: Pengaruh medikasi terhadap hiposalivasi adalah yang terbesar yaitu sekitar 80% dimana penyebab utamanya adalah penggunaan obat yang memicu xerostomia. Obat-obat ini dapat ditemukan pada 42 kategori dan 56 subkategori. Obat-obat xerostomia ini bekerja dengan menghambat aktivitas antikolinergik pada sistem saraf parasimpatis.
b.     Radiasi: radiasi pada leher dan kepala dengan dosis > 60Gy dipercaya merupakan penyebab dari xerostomia. Radiasi akan menyebabkan fibrosis pada kelenjar saliva, hilangnya sel asinar, dan menurunnya aliran darah disekitar kelenjar.
c.     Sistemik: faktor sistemik yang berpengaruh terhadap hiposalivasi adalh faktor usia. Semakin tua usia, fungsi sekresi kelenjar saliva juga akan menurun. Prevalensi xerosotimia akan meningkat 30% pada usia 65 tahun keatas.
(Gupta dkk, 2006)
     Berdasarkan pemeriksaan pada praktikum saliva, laju sekresi saliva pasien adalah 18 detik pada keadaan tidak terstimulasi dan meningkat volumnya menjadi 10ml setelah diberikan stimulasi. Dari data laju saliva tersebut, pasien termasuk resiko rendah terjadi karies
     Sedangkan berdasarkan data kuesioner CAMBRA, pasien termasuk resiko sedang terjadi karies dimana skor indikator penyakit = 0, skor faktor resiko = 2, dan skor faktor protektif = 2.
3.      Rekomendasi perawatan
Menurut Young dkk (2007), pasien dengan resiko sedang karies dapat diberikan beberapa rekomendasi perawatan oral hygiene antara lain: konsultasi diet kepada dokter gigi, menggosok gigi dengan pasta gigi berfluoride, menganjurkan untuk rutin membersihkan rongga mulut oleh dokter gigi/profesional, mengunyah chewing gum berxylitol, rutin ke dokter gigi minimal 6 bulan sekali, melakukan fluoride varnish, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Gupta, A., Epstein, J.B., Sroussi, H., 2006, Clinical Practice: Hyposalivation in Elderly Patients, CDA Journal, 72(9):841, 843.
Hiremath, S., 2007, Textbook of Preventive and Community Dentistry, Ed.2, Elsevier, New Delhi, hal.212.
Kemenkes RI, 2012, Pedoman Paket Dasar Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Puskesmas, hal.23.
Shabani, L.F., Begzati, A., Dragidella, F., Hoxha, V.H., Cakolli, V.H., Bruci, B., 2015, The Correlation between DMFT and OHI-S Index among 10-15 Years Old Children in Kosova, J. Dental Oral Health, 1(1):2.

Young, D.A., Featherstone, J.D., Rath, J.R., 2007, Caries Risk Assessment, CDA Journal, 35(10):706-707, 717.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengukir Budaya Dikala Arus Deras Millenial

Peraturan Etika dan Moral Dalam Kedokteran Gigi di Indonesia